Kamis, 15 Juli 2010
Penghambat Keshalihan
Author: Choirul Fata
| Posted at: 19.44 |
Filed Under:
tausiah
|
Sebagai muslim, setiap kita pasti menginginkan menjadi orang yang shaleh, sebab jangankan kita, Nabi-Nabi saja menginginkannya, padahal seorang Nabi tentu saja termasuk orang shaleh. Hal ini karena, keshalehan akan membuat seseorang bisa dimasukkan ke dalam surga. Diantara Nabi yang meminta agar dimasukkan ke dalam kelompok orang yang shaleh adalah Nabi Sulaiman as sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt:
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّن قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
"Maka dia tersenyum dengan tertawa Karena (mendengar) perkataan semut itu. dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah Aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah Aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (QS An Naml [27]:19).
Namun, untuk menjadi shaleh ada hambatan-hambatan yang menghadang sehingga setiap kita harus mewaspadainya, bahkan mengatasi agar jangan sampai sifat-sifat yang menjadi penghambat keshalehan ini ada pada diri kita masing-masing. Ali bin Abi Thalib yang sering disebut sebagai pintu ilmu dan gudang ilmunya adalah Rasulullah saw, mengemukakan adanya sifat-sifat yang menjadi hambatan untuk menjadi shaleh, beliau berkata seperti yang dikutip oleh Imam Nawawi Al Bantani dalam kitabnya Nashaihul Ibad:
لَوْلاَ خَمْسُ خِصَالٍ لَصَارَ النَّاسُ كُلُّهُمْ صَالِحِيْنَ أَوَّلُهَا الْقَنَاعَةُ بِالْجَهْلِ وَالْحِرْصُ عَلَى الدُّنْيَا وَالشُّحُّ بِالْفَضْلِ وَالرِّيَاءُ فِى الْعَمَلِ وَاْلإِعْجَابُ بِالرَّأْيِ
Jika tidak ada lima sifat tercela, niscaya manusia seluruhnya akan menjadi orang shaleh, kelima sifat tercela itu adalah: merasa senang dengan kebodohan, rakus terhadap harta keduniaan, bakhil dengan kelebihan harta yang dimiliki, riya dalam setiap amal yang dilakukan dan senantiasa membanggakan pendapat sendiri
Dari ungkapan Ali bin Abi Thalib di atas, lima penghambat untuk menjadi orang yang shaleh harus kita pahami agar kita bisa mencegahnya dari diri kita masing-masing.
1. Senang Dengan Kebodohan.
Kejahiliyahan yang diterjemahkan dengan kebodohan bisa dipahami bodoh dalam arti intelektual yakni tidak memahami ilmu tentang nilai-nilai kebaikan dan kebenaran atau bisa juga dipahami mengetahui ilmu tentang kebenaran tapi tidak menjalani kehidupan dengan baik dan benar. Kejahiliyahan seperti inilah yang dibenahi oleh Rasulullah saw, karena itu jangan sampai ada seorang muslim yang justeru senang dengan kebodohan.
Secara garis besar, Al-Qur’an menyebutkan kejahiliyahan dalam tiga bentuk. Pertama adalah jahiliyah dalam masalah ketuhanan, yakni menjadikan selain Allah swt sebagai tuhannya. Tuhan dalam Islam adalah sesuatu yang tidak bisa dibuat, tidak bisa dilihat dengan pandangan mata, tidak ada sesuatu yang bisa menyamainya, bahkan tuhan itu justeru yang mencipta segala sesuatu, bukan dicipta oleh sesuatu. Karena itu, umat Nabi Musa diangap jahil karena mereka meminta dibuatkan tuhan, dalam kaitan ini Allah swt berfirman:
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْاْ عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَّهُمْ قَالُواْ يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَـهاً كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada satu kaum yang tetap menyembah berhala mereka. Bani Israil berkata: Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui/jahil” (QS Al A’raf [7]:138).
Kedua, jahiliyah dalam masalah syariah atau hukum, yakni berhukum kepada hukum selain dari hukum Allah atau hukum yang bertentangan dengan hukum-Nya. Itu sebabnya, seorang muslim jangan menggunakan hukum yang lain kecuali hukum Allah atau jangan gunakan hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah swt yang disebutkan dalam firman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin (QS Al Maidah [5]:50).
Ketiga, jahiliyah dalam masalah akhlak atau prilaku yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang datang dari-Nya, misalnya saja penampilan seorang wanita yang tidak islami, sikap sombong, pembicaraan yang tidak bermanfaat, perzinahan dll. Allah swt berfirman dalam kaitan menceritakan kasus yang terjadi pada Nabi Yusuf as: Yusuf berkata:
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu akan akan cenderung (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh (QS Yusuf [12]:33).
2. Rakus Terhadap Harta.
Setiap orang pasti membutuhkan harta untuk bisa memenuhi segala kebutuhannya dalam hidup ini, karenanya harta harus dicari dengan cara yang halal dan mensyukuri bila telah memperolehnya, baik dalam jumlah yang sedikit apalagi banyak. Agar kita bisa dan tetap menjadi shaleh dalam kaitan dengan harta, maka jangan sampai kita menjadi orang yang rakus.
Kerakusan dalam harta biasanya ditandai dengan menginginkan harta yang banyak dengan cara yang tidak halal atau ia ingin agar orang lain tidak mendapatkannya sehingga dalam suatu usaha ia melakukan penguasaan atau monopoli yang mernyebabkan orang lain tidak mendapatkan peluang untuk berusaha. Disamping itu orang rakus menjadi iri terhadap orang lain yang memiliki harta sehingga ia berusaha agar tidak ada orang yang menyainginya, bahkan rakus terhadap harta membuat orang tidak peduli terhadap ketentuan hukum sehingga Allah swt memperingatkan kita semua dengan firman-Nya:
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (QS Al Baqarah [2]:188)
3. Bakhil Terhadap Harta.
Memiliki sifat bakhil atau kikir dalam kaitan dengan harta membuat seseorang akan terhindar dari keshalehan, hal ini karena bakhil merupakan sifat tercela yang seharusnya dihindari, bila tidak, maka ia akan menjadi orang yang rugi dalam kehidupannya di dunia dan akhirat, Allah swt berfirman yang artinya:
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan siapa yang dihindarkan dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS Al Hasyr [59]:9).
Karena manusia menjadi tidak shaleh, maka kekikiran telah mengakibatkan binasanya suatu umat, hal ini karena mereka melakukan pertumpahan darah dan ternodalah nilai-nilai kehormatan yang mereka miliki, disinilah salah satu letak pentingnya bagi kita untuk menjauhi kekikiran, Rasulullah saw bersabda:
Jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya ia telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, mendorong mereka menumpahkan darah dan menghalalkan semua yang diharamkan Allah (HR. Muslim).
Oleh karena itu, kekikiran jangan dipandang sebagai sesuatu yang membuat seseorang beruntung hanya karena hartanya tidak berkurang, tapi sebenarnya ia mengalami kerugiaan yang nyata, misalnya orang lain menjadi tidak suka kepadanya, ketenangan jiwa hilang dari dirinya, sedangkan di akhirat dia lebih merugi lagi, Allah swt berfirman:
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Sekali-kali, janganlah orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka pada hari kiamat (QS Ali Imran [3]:180).
4. Riya Dalam Amal.
Riya adalah melakukan kebaikan bukan karena Allah, tapi karena ingin dilihat orang, dipuji atau ada pamrih dalam amalnya. Riya merupakan perbuatan dan sifat orang-orang munafik, karenanya seorang muslim jangan sampai memiliki sifat yang satu ini karena dengan begitu sulit baginya untuk menjadi orang yang shaleh. Dalam konteks ini pula, dikenal istilah sum’ah yang berasal dari kata samma’a yang maksudnya adalah menampakkan amalnya kepada manusia yang semula tidak diketahuinya dengan maksud agar orang yang sudah tahu amalnya itu akan memujinya, Allah swt berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً
Sesungguhnya orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali (QS An Nisa [4]:142).
Riya merupakan bagian dari kemusyrikan, namun ia tergolong syirik yang kecil, Rasulullah saw sangat khawatir bila hal ini terjadi pada umatnya, karena sebanyak dan sebagus apapun amal seorang muslim, bila ternyata mengandung kemuyrikan meskipun sangat kecil, tidak ada nilai apa-apanya dihadapan Allah swt, Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik yang kecil. Sahabat bertanya: “apakah syirik yang kecil itu ya Rasulullah?”. Rasulullah menjawab: “Riya” (HR. Ahmad).
5. Membanggakan Pendapat
Membanggakan pendapat sendiri menjadi penghambat keshalehan karena dengan demikian seseorang akan meremehkan pendapat orang lain meskipun pendapat tersebut benar. Karena itu mau mendengar pendapat orang lain, apalagi memang meminta pendapat orang lain menjadi sesuatu yang sangat baik. Bila seseorang tidak mau menerima pendapat yang benar, bagaimana mungkin ia akan menjadi shaleh.
Oleh karena itu, para sahabat telah mencontohkan kepada kita bagaimana mereka mau menerima pendapat orang lain yang benar meskipun harus mencabut kembali pendapatnya yang tidak tepat, Umar bin Khattab merupakan salah satu contoh dalam masalah ini ketika ia mencabut kembali pendapatnya yang salah dalam masalah melarang pemberian mahar atau mas kawin dalam jumlah yang banyak.
Dengan demikian, mau menjadi shaleh atau tidak sangat tergantung pada usaha kita masing-masing dalam hidup ini dan sebagai muslim yang baik niscaya setiap kita akan berusaha kearah itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar