Jamaah Sekalian Yang Berbahagia.
Harapan dan doa kita agar bisa melaksanakan kembali ibadah Ramadhan pada tahun ini insya Allah terkabul, meskipun banyak diantara saudara, sahabat, jamaah dan tokoh-tokoh kita sudah tidak bisa menikmati lagi karena telah meninggal dunia. Karena itu kehadiran Ramadhan tahun ini dan kita berada di dalamnya tentu tidak akan kita sia-siakan atau kita lewatkan begitu saja tanpa upaya peningkatan ketaqwaan kepada Allah swt.
Hakikat utama dari puasa adalah menahan, bukan semata-mata menahan dari tidak makan dan minum serta melakukan hubungan seksual sejak subuh sampai maghrib, tapi menahan atau mengendalikan diri agar sikap dan tingkah laku kita tidak keluar dari nilai-nilai yang ditentukan oleh Allah swt. Paling tidak, ada empat bentuk pengendalian diri yang harus selalu kita lakukan dalam hidup ini yang kita hasilkan dari pembinaan dalam ibadah Ramadhan, khususnya puasa.
Pertama, mengendalikan lisan. Orang yang berpuasa sangat dituntut untuk mengendalikan lisannya dari ucapan yang tidak dibenarkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Hal ini karena nilai pendidikan puasa bukan hanya secara jasmaniyah dalam arti orang tidak makan dan minum, tapi puasa itu mendidik kearah peningkatan kualitas iman, karena yang Allah swt inginkan dari kita adalah memiliki iman yang berkualitas, bukan agar kita menjadi haus dan lapar, karenanya ukuran keberhasilan puasa bukanlah terletak pada berat badan kita yang turun beberapa kilo gram, tapi bisakah kita mengendalikan lisan dari ucapan yang tidak benar, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan beramal dengannya, maka Allah tidak mempunyai keperluan bahwa dia meninggalkan makanan dan minumannya (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Pengendalian lisan menjadi amat penting bagi seorang muslim dari ucapan yang tidak benar karena hal itu menjadi salah satu tolok ukur iman yang berkualitas. Ini berarti, dalam kacamata iman, seorang muslim lebih baik diam saja daripada harus melontarkan ucapan yang tidak bisa dibenarkan, ini pula yang oleh masyarakat kita disebut dengan “diam itu emas”, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِا اللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, pengendalian diri yang harus kita lakukan adalah mengendalikan nafsu seksual. Setiap manusia memiliki hasrat seksual yang ingin dilampiaskannya. Dalam pandangan Islam, manusia dibolehkan untuk melampiaskan keinginan seksualnya itu, namun hal itu hanya dibenarkan untuk dilakukan kepada isteri atau suaminya. Karena itu, Allah swt mengisyaratkan dan mengingatkan kita melalui larangan melakukan hubungan seksual bagi suami isteri pada siang hari di bulan Ramadhan. Makna yang bisa kita tangkap adalah bila kepada isteri atau suami yang sah dan pada dasarnya halal untuk berhubungan seks saja dilarang pada siang hari Ramadhan, apalagi kepada orang lain yang bukan isteri atau suaminya, hal ini karena zina merupakan sesuatu yang sangat nista sehingga mendekatinya saja sudah tidak dibenarkan, Allah swt berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (QS Al Isra [17]:32).
Agar manusia tidak melakukan perzinahan, maka Islam amat menekankan kepada manusia untuk melakukan aqad nikah, karena di dalam Islam tidak ada orang yang dilarang untuk menikah meskipun di dalam agama lain karena seseorang ingin menjadi tokoh agama, maka ia disyaratkan tidak menikah, karena itu perintah menikah berlaku umum, tidak hanya untuk yang beriman sehingga seruan ini menggunakan kata an nas (manusia), bukan amanu (orang beriman), Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. (QS An Nisa [4]:1)
Kaum Muslimin Rahimakumullah.
Ketiga, mengendalikan nafsu makan dan minum. Makan dan minum merupakan kebutuhan manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan itu sendiri. Meskipun demikian, pemenuhan kebutuhan ini harus tetap dalam kendali yang benar sehingga sebagai mukmin kita hanya mengkonsumsi sesuatu yang halal, baik dari sisi jenisnya maupun cara mendapatkannya. Memperoleh makanan dan minuman secara halal membuat seorang muslim semakin mudah dalam menempuh jalan ketaqwaan, sedangkan memperoleh sesuatu yang tidak halal atau dengan cara yang tidak halal membuat seseorang semakin sulit menempuh jalan taqwa, Allah swt berfirman:
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلاَلاً طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (QS Al Maidah [5]:88).
Karena masalah kehalalan merupakan sesuatu yang amat mendasar, maka Allah swt menegaskan agar manusia jangan memutarbalikkan hukum agar sesuatu yang tidak halal seolah-olah menjadi halal, padahal ia sendiri mengetahui bahwa hal itu memang bukan miliknya dan tidak halal baginya, hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (QS Al Baqarah [2]:188)
Dalam konteks pengendalian diri dalam masalah makan dan minum, seorang muslim jangan sampai makan dan minum secara berlebihan melebihi takaran yang ada pada diri kita, akibatnya sekarang ini banyak orang yang terserang penyakit akibat kelebihan dalam makan dan minum. Ibadah puasa seharusnya membuat kita mampu mengendalikan makan dan minum, bukan malah justeru saat berbuka kita memindahkan segala jenis makanan dan minuman yang ada di meja makan ke dalam perut kita tanpa kendali, karenanya Allah swt berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS Al A’raf [7]:31).
Keempat, mengendalikan emosi. Ibadah puasa mendidik kita untuk menjadi orang-orang yang sabar, karena itu kemampuan mengendalikan emosi merupakan sesuatu yang harus kita hasilkan dari ibadah puasa, dalam kaitan ini Rasulullah saw bersabda:
إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ
Jika kamu sedang berpuasa, maka jangan berkata keji, jangan ribut (marah) dan jika ada orang memaki atau mengajak berkelahi, hendaknya diberi tahu: “saya berpuasa” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sahabat Nabi yang bernama Ali bin Abi Thalib merupakan salah seorang sahabat yang harus ditiru dalam masalah pengendalian emosi yang luar biasa. Ketika perang satu lawan satu dengan orang kafir, musuhnya itu sudah jatuh tak berdaya, namun saat Ali hendak membunuhnya justeru orang itu meludahi wajah Ali yang sebenarnya membuatnya semakin marah, namun Ali cepat sadar sehingga ia tidak jadi membunuhnya, bukan tidak bisa membunuh, tapi ia khawatir bila membunuh orang kafir itu karena dia meludahi wajahnya, beliau sangat khawatir bila membunuh bukan karena Allah swt.
Keberhasilan ibadah puasa tentu saja tidak hanya membuat kita bisa mengendalikan lisan, seksual, makan dan minum serta emosi saat kita berpuasa, tapi yang terpenting lagi adalah sesudah kita menunaikannya, karena itu bulan sesudah Ramadhan adalah Syawwal yang bermakna peningkatan, sehingga bulan Syawwal menjadi momentum untuk menunjukkan peningkatan kualitas keimanan kita kepada Allah swt.
Demikian khutbah Jumat kita pada hari ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, amien.
Kamis, 16 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar