Jumat, 17 April 2009

ISLAM KAFAH

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القيامة أَمّا بَعْدُ ...

Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah Swt…

Selaku khatib Jumat kali ini, izinkanlah saya berwasiat baik bagi diri saya pribadi, maupun bagi hadirin sekalian, untuk selalu meningkatkan keimanan dan ketakwaan diri kita kepada Allah Swt. Lebih dari 50 kali di dalam Al-Quran Allah Swt berfirman: “Ittaqullâh”, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah! Pengulangan yang teramat sering ini menunjukkan bahwa, takwa sangatlah penting artinya bagi setiap muslim. Karena hanya dengan takwa kepada Allah sajalah, kita akan dapat hidup bahagia, baik di dunia ini maupun di akhirat.

Melalui khutbah Jum’at kali ini, saya ingin menyampaikan sebuah materi tentang bagaimana kiat membentuk diri ini menjadi seorang muslim sejati?

Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh...

Saat ini, banyak orang mengaku dirinya sebagai muslim. Data statistik dunia terakhir menunjukan ada 1,7 milyar lebih di dunia ini jumlah penduduk dunia yang beragama Islam. Tapi, dari sekian jumlah yang ada itu, sangat sedikit yang memiliki kepribadian sebagai seorang muslim.


Selebihnya, mempunyai kepribadian terpisah (split personality). Orang semacam ini agamanya saja sebagai muslim, namun, perilaku, sikap, dan tindakannya sama sekali tidak menunjukkan keislamannya. Kalau demikian adanya, bagaimana Islam dapat menjadi rahmah? Jika para pemeluknya tidak memahami, menghayati dan mengamalkan Islam? Persis seperti apa yan telah disinggung oleh rasulullah Saw:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ (سنن أبي داود: 3745)

Rasulululullah Saw bersabda: “Suatu saat nanti kalian akan dikeroyoki oleh berbagai suku bangsa seperti mereka mengeroyoki makanan”. Salah seorang bertanya: “Apakah kami saat itu minoritas ya Rasululullah?” “Tidak”, jawab Rasulullah, “bahkan kalian saat itu mayoritas, tetapi hanya bagai busa. Allah hilangkan rasa takut di hati musuh-musuh kalian dan Allah tumbuhkan di dalam hati kalian kehinaan! Lantas ada yang bertanya: “Kehinaan bagaimana ya Rasululullah?” Nabi pun menjawab: “Cinta dunia dan takut mati”.

Lihatlah kondisi masyarakat kita saat ini yang berada dalam keadaan lemah, hina, rendah diri, terbelakang, dan ditimpa berbagai krisis maupun perpecahan. Lengkap sudah segala penderitaan yang ada, berbagai simbol negatif pun tersematkan di dada-dada bangsa kita, bangsa yang tidak beradab dan tidak bermoral! Padahal dahulu Indonesia di kenal sebagai bangsa yang sangat santun dan welas asih! Mengapa ini bisa terjadi?


Nyawa manusia lebih rendah harganya dari sekarung beras. Hanya karena gara-gara dituduh mencuri uang sepuluh ribu rupiah, seseorang dapat menemui kematiannya. Atau hanya karena sepedanya dipinjam tanpa ijin, seseorang berani membunuh kawan sekerjanya sendiri. Di mana-mana kerusakan merajalela, kebodohan, dekadensi moral dan hal-hal negatif lainnya. Indonesia telah mengalami krisis diberbagai aspek kehidupan, krisis multi dimensial!

Kondisi semacam ini tidak mungkin terus menerus dibiarkan. Siapapun yang merasa sebagai muslim yang memiliki ghirah (semangat) keislaman, tidak akan merelakan hal ini. Agama kita bukan agama fardiyah (individual), tetapi agama pemersatu (ummatan wahidah), bahkan satu jasad. Jika sakit salah satu anggota tubuh, maka yang lain akan merasakannya. Islam bukan hanya agama ibadah. Tetapi merupakan the way of life (jalan hidup) yang paripurna, mengatur segala urusan dunia-akhirat. Agama kita mengajak kepada wihdah (persatuan), al-quwwah (kekuatan), al ‘izzah (harga diri), al-‘adl (keadilan), dan juga kepada jihad (perjuangan).

Maka, misi risalah Islam yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) ini bertujuan untuk memberikan hidayah (petunjuk) manusia pada agama yang haq, yang diridhoi Allah. Fungsi Islam yang menyejukkan bagi seluruh umat manusia ini, tidak mungkin terwujud, kecuali jika benar-benar diamalkan oleh orang-orang yang memiliki kepribadian, atau mempunyai jati diri sebagai seorang muslim. Karenanya, semua itu pasti berawal dari diri, lalu keluarga, masyarakat dan lingkungan.


Sebagaimana kita tahu, hidup merupakan suatu perjalanan dari satu titik ke titik yang lain, beranjak dari garis masa lalu, melewati masa kini, untuk menuju masa depan. Masa lalu adalah sebuah sejarah, masa kini adalah realita dan masa yang akan datang adalah cita-cita. Sebagai seorang muslim, tentunya kita tidak akan membiarkan hidup ini sia-sia. Hidup di dunia ini menjadi terlalu singkat jika hanya dipenuhi dengan keluhan-keluhan, kegelisahan, rasa pesimis dan angan-angan. Jiwa-jiwa seperti itu,tidak mencerminkan jati diri seorang muslim sejati. Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang muslim tidak akan pernah ditimpa kecuali kebaikan, apabila ditimpa kejelekan ia bersabar, dan jika dilimpahkan kenikmatan ia bersyukur.”

Seorang Muslim tidak akan pernah mengeluh menghadapi kehidupan, karena ia telah memiliki kepribadian yang utuh dalam menghadapi segala macam ujian hidup.
Untuk menjadi pribadi muslim sejati, sesuai dengan apa yang digariskan oleh Islam, sudah semestinya memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Al-Hadits, juga telah dipraktekkan oleh para Sahabat Nabi maupun salafus shâleh, yaitu pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah Swt dan rasul-Nya. Nilai-nilai tersebut, jika disederhanakan, setidaknya ada sepuluh sifat yang mesti melekat di dalam diri seorang muslim:

• Salimul 'Aqidah (Keyakinan yang benar)

Hidup di dunia ini bagai orang yang tengah mengadakan suatu perjalanan. Coba anda bayangkan, seandainya dalam suatu perjalanan anda tidak mengetahui arah mana yang akan anda tuju. Di terminal bus, di dermaga, atau di bandara, anda terduduk sambil bertanya hendak kemanakah diri ini harus pergi? Apa yang akan terjadi? Sudah bisa dipastikan anda akan mudah tersesat. Mengapa? Karena anda tidak mempunyai keyakinan pasti untuk sampai kepada suatu tujuan. Demikian halnya dengan perjalanan seorang muslim di dunia ini, dia harus mempunyai keyakinan yang lurus, sebagai sarat untuk dapat sampai kepada tujuannya.

Ada enam hal yang membuat seorang muslim yakin terhadap tujuan perjalanannya. Iman (yakin) kepada keberadaan Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari akhir, dan Qadla-Qadar. Sebagaimana Sabda nabi Saw:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Nabi Saw bertanya kepada Jibril As:”Beritahukan aku tentang iman? Jibril menjawab: “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan kamu beriman kepada takdir yang baik maupun buruknya”.

Keyakinan terhadap Allah membuat Muslim selalu dalam keadaan optimis akan pertolongan-Nya. Yakin terhadap Malaikat membuat Muslim menyadari bahwa makhluk Allah yang paling taat ini, akan selalu mencatat segala perbuatannya di dunia, sehingga amal perbuatan Muslim selalu dipenuhi dengan hal-hal positif. Yakin terhadap kitab, membuat muslim selalu membaca panduan hidupnya setiap saat. Yakin terhadap Rasul, membuat Muslim memantapkan langkahnya hidup di dunia, bahwa Allah tidak meninggalkannya tanpa pemandu perjalanan yang panjang ini. Yakin terhadap hari akhir, membuat muslim tahu akan tujuan akhirnya. Iman kepada qadla dan qadar membuat muslim menyadari akan tanggung jawabnya hidup di dunia, sehingga tidak terjatuh pada keyakinan jabariyah atau keyakinan qadariyah.

• Shahihul Ibadah (Ibadah yang benar)

Anda sekarang sudah yakin dengan perjalanan yang sedang anda lakukan ini. Tinggal bagaimana anda harus melaluinya dengan baik, sehingga tidak tersesat. Karenanya, ibadah adalah implementasi dari sebuah keyakinan. Yang perlu kita sadari adalah, bahwa ibadah dalam Islam bukanlah merupakan taklif (pembebanan), melainkan tasyrif (pemuliaan) dari Allah Swt. Ketika seorang manusia dijuluki oleh Allah ‘ibadullah, maka ia termasuk orang-orang yang dikasihi-Nya.

Ibadah dalam Islam bukan hanya mencakup ritual keagamaan semata, semisal: shalat, zakat, puasa dan haji, tetapi semua lini kehidupan di dalam memakmurkan dunia ini yang tidak bertentangan dengan landasan Al-Quran dan Sunnah, semisal mencari nafkah secara halal, berhubungan baik dengan keluarga, menuntut ilmu dan lain sebagainya. Sebagaimana firmannya:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الجمعة: 10)
“Jika shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung”.

Demikianlah, seorang Muslim harus memahami arti ibadah dengan benar. Ibadah yang benar lahir dari aqidah yang benar. Ibadah yang benar adalah ibadah yang membawa pengaruh bagi dirinya, orang lain dan melahirkan ketaqwaan.

• Matinul Khuluq (Akhlaq yang kokoh)

Memang, menjadi orang baik itu sulit, namun amat mudah bagi yang memiliki tekad dan kemauan. Awal dari segala sesuatu itu susah. Namun, jika anda sudah terbiasa, anda tidak akan pernah mengatakannya sulit. Ingatkah Anda ketika pertama kali anda belajar naik sepeda? Mungkin anda pernah berfikir, bagaimana caranya menjalankan sepeda yang hanya mempunyai dua roda. Pertama yang anda lakukan adalah duduk di sadel, menurunkan kedua kaki di tanah, dan tangan memegang kendalinya. Semuanya berjalan dengan baik. Lalu, salah satu dari anda mulai untuk menggenjot sadel di satu sisinya. Anda gugup, baru beberapa meter, anda kehilangan kendali dan ups… terjatuh.

Setelah beberapa kali mencobanya, anda sudah mulai terbiasa memegang kendali, menjaga keseimbangan dan menggenjot pedal dengan nyaman. Anda sudah lupa, kesulitan pertama kali menjalankannya, dan ternyata naik sepeda itu nikmat. Demikianlah, ketika anda berlatih mengendalikan diri, membiasakan dengan hal-hal yang baik, dan menjauhi sikap-sikap yang tidak berguna. Semakin dibiasakan, perilaku itu keluar dengan sendirinya secara otomatis. Inilah yang disebut akhlaq, yaitu perilaku yang keluar secara otomatis, dan mencerminkan ekspresi diri seseorang di segala tempat dan waktu. Jadi, akhlaq bukanlah perilaku kondisional, yang hanya diekspresikan pada waktu-waktu tertentu saja, tetapi memiliki akhlak yang komit, tidak fluktuatif, dan tidak berubah dalam kondisi bagaimana pun. Allah Swt berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (القلم: 4)

"Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung". (QS. Al-Qalam :4

• Mutsaqaful Fikr (Wawasan pengetahuan yang luas)

Menjalani kehidupan di dunia ini tidak hanya sekedar mengandalkan keyakinan, ibadah dan akhlaq. Siapapun orangnya, ketika sedang melakukan perjalanan pasti membutuhkan pengetahuan tentang apa yang sedang ia tuju. Ketika anda hendak beranjak ke Kairo, misalnya, anda tentu mencari informasi tentang kondisinya, cuacanya, budayanya, makanannya, dan hal-hal lain yang perlu anda persiapkan sejak dini. Dengan informasi itulah anda mampu mengira-ngira apa yang dapat anda kerjakan sekarang, untuk persiapan nanti.

Begitu pula halnya dengan kehidupan yang sedang kita jalani ini. Anda tentu membutuhkan informasi-informasi yang diperlukan dalam melanjutkan perjalanan hidup. Wawasan itulah yang akan memandu perjalanan hidup anda. Proses yang sedang anda jalani dalam hidup ini juga tidak lepas dari pengalaman-pengalaman yang akan menjadi guru terbaik bagi anda. Allah Swt berfirman:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ (الزمر: 9)

“Katakanlah: “Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesunguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.

Karenanya, bagi seorang muslim, mencari ilmu pengetahuan merupakan salah satu kewajiban.

• Quwwatul Jismi (Tubuh yang kuat)

Kesempurnaan itu dambaan setiap orang. Masing-masing akan mencoba mencapai kesempurnaan diri, sesuai dengan kemampuannya. Dengan kekuatan itulah setiap orang akan berusaha mencapai keseimbangannya. Seahli apapun anda mengendarai sepeda, jika ban di rodanya kempes, tentu anda tidak akan dapat berbuat banyak, hingga ban itu baik kembali.

Karenanya, persiapkanlah jasmani Anda sebaik mungkin untuk dapat melanjutkan perjalanan anda secara vit dam prima. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Nabi bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ (مسلم وابن ماجه وأحمد)

"Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah”. (HR. Muslim, Ibnu majah dan Imam Ahmad)

Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Namun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi.

• Qadirun ‘ala al-Kasbi (Mampu mencari nafkah)

Sekarang, anda sudah sedikit-banyak, mengerti tentang bagaimana seharusnya menempuh perjalanan hidup ini. Sebagaimana seseorang yang sedang dalam perjalanan, anda harus mempunyai dua bekal. Pertama, bekal persiapan untuk tujuan akhir nanti setelah sampai tujuan. Yang kedua, bekal dalam perjalanan.

Nah, begitu pula di dunia ini. Hidup di dunia adalah suatu perjalanan, tujuan kita adalah akhirat. Namun, persiapan bekal untuk akhirat, tidak menutup kita untuk mempersiapkan bekal dalam perjalanan hidup di dunia ini untuk diri sendiri dan keluarga. Rasulullah pernah mengingatkan kita untuk bisa menyeimbangkan antara keduanya. “Bekerjalah untuk duniamu, seakan-akan kau akan hidup selamanya. Dan beramal buat akhiratmu, seakan-akan kau akan menemui ajal esok pagi.”

Agama kita melarang umatnya untuk bersikap santai, bermalas-malasan dan bertopang dagu. Para sahabat mencontohkan, jika terdengar adzan maka mereka segera ke masjid, jika selesai melaksanakan kewajibannya maka mereka kembali bertebaran di muka bumi untuk kembali melanjutkan usahanya sambil berdoa,”Ya Allah, kami telah memenuhi panggilan-Mu dan telah melaksanakan apa yang telah Engkau wajibkan, sekarang kami menyebar (berusaha) sebagaima Engkau perintahkan, maka berilah kami rizki karena Engkaulah sebaik-baik Pemberi Rizki.

• Nafi’un li Ghairihi (Bermanfaat bagi lainnya)

Banyak orang yang menyangka, bahwa keberhasilan adalah semata-mata kesuksesan yang diperoleh seseorang secara individu. Kita akan merasa bangga telah berhasil memperoleh gelar sarjana, majister, atau bahkan doktor. Atau kita merasa bangga telah memperoleh keuntungan bermilyar-milyar, masuk dalam kantong sendiri. Benarkah itu yang disebut keberhasilan dalam pribadi seorang Muslim?

Seorang muslim yang berhasil adalah yang mampu menjadi pelita bagi sekelilingnya. Ia mampu menerangi keluarga dan masyarakatnya, dengan sikap, perilaku, ilmu, harta, dan amal nyata. Pantulan dirinya sebagai muslim benar-benar dirasakan, sehingga dapat menebar kesejukan orang-orang yang bersamanya. Sebaik-baik muslim adalah yang bisa memberi manfaat bagi orang lain. Relevan dengan sabda Rasulullah Saw:

خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ (رواه أحمد)


“Sebaik-baik kalian adalah orang yang selalu diharapkan kebaikannya dan aman dari kejahatannya, adapun seburuk-buruk kalian adalah orang yang tidak diharapkan kebaikannya dan tidak aman dari kejahatannya.” (HR. Ahmad)


• Harisan ‘ala Waqtihi (Mampu mengatur waktu)

Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur'an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.

Banyak masalah yang timbul, karena seseorang tidak mampu mengatur waktunya dengan baik. Ia tidak bisa mencapai target dari rencana. Ia kehilangan beberapa momen penting, hanya karena waktu yang telah berlalu begitu saja di hadapannya. Untuk itu, pribadi Muslim selalu siap dengan situasi dan waktu. Ia dapat mengatur seberapa banyak waktu untuk beribadah mahdhah, dan untuk bermu’amalah. Semuanya perlu diatur sehingga seimbang.

Waktu adalah kehidupan, sehingga orang yang tidak bisa mengatur waktu akan kehilangan momen hidupnya, bahkan bisa tergilas dengan waktunya sendiri. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan:

لوقت كالسيف فإن لم تقطع به فإنه قطعك!

“Waktu itu bagaikan sebilah pisau, jika tidak kamu gunakan untuk memotong, niscaya ia yang akan memotongmu!”

Sehingga seorang muslim tidak akan menjadi manusia yang merugi sebagaimana yang disinyalir dalam QS. Al Ashr:1-3.

• Munazhzhamun fi syu’ûnihi (Mampu mengatur urusannya)

Hidup kita di dunia ini penuh dengan berbagai aktifitas yang luar biasa banyaknya. Karena itu, sebagai seorang muslim harus pandai untuk memilah dan memilih, mana saja aktifitas yang sesuai dengan pandangan hidupnya sebagai seorang muslim berdasarkan skala prioritas. Karena pada prinsipnya, tugas atau kewajiban itu lebih banyak daripada waktu yang tersedia.

Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme harus selalu diperhatikan. Nabi bersabda:

• Mujahidun linafsihi (Berjuang melawan hawa nafsu)

Mujahidun linafsihi merupakan salah satu upaya yang mesti bagi setiap pribadi muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan kepada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya tekad dan kesungguhan. Karena hawa nafsu adalah sebesar-besarnya jihad di dalam Islam, seperti apa yang telah dikatakan oleh Sayidina Ali Karamallahu wajhah sepulangnya dari peperangan Badar Al-Kubra yang dahsyat dengan mengatakan masih ada jihad yang lebih besar lagi daripada peperangan yang baru saja berlalu. Dalam kesempatan lain Nabi Saw mengatakan:

لا يؤمن أحدكم حتي يكون هواه تبعا لما جئت به (رواه احاكم)

"Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)". (HR. Hakim)

Demikianlah sepuluh sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim agar menjadi muslim sejati sebagaimana yang digariskan oleh Al-Quran dan Sunnah. Hal tersebut tidak akan kita miliki, kecuali dengan amal usaha yang sungguh-sungguh, melalui pendidikan dan pengarahan yang intensif secara berkesinambungan dan kontinyu, hingga akhir hayat kita. Orang yang memiliki kesepuluh sifat ini, insya Allah dapat diandalkan dalam memikul Misi Risalah Islam. Dengan kesepuluh sifat ini, Islam akan benar-benar memancarkan rahmatan lil ‘alamin..

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ
قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

0 komentar:

Posting Komentar

 

KHUTBAH JUMAT Copyright © 2009 Community is Designed by Bie